ADAB-ADAB MAKAN DAN MINUM
Oleh
Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani
Adab-adab makan dan minum meliputi tiga hal; adab sebelum makan, adab ketika makan dan adab setelah makan.
1. Adab Sebelum Makan
a. Hendaknya berusaha (memilih untuk) mendapatkan makanan dan minuman
yang halal dan baik serta tidak mengandung unsur-unsur yang haram,
berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu…” [Al-Baqarah/2: 172]
b. Meniatkan tujuan dalam makan dan minum untuk menguatkan badan,
agar dapat melakukan ibadah, sehingga dengan makan minumnya tersebut ia
akan diberikan ganjaran oleh Allah.
c. Mencuci kedua tangannya sebelum makan, jika dalam keadaan kotor atau ketika belum yakin dengan kebersihan keduanya.[1]
d. Meletakkan hidangan makanan pada sufrah (alas yang biasa dipakai
untuk meletakkan makanan) yang digelar di atas lantai, tidak diletakkan
di atas meja makan, karena hal tersebut lebih mendekatkan pada sikap
tawadhu’. Hal ini sebagaimana hadits dari Anas Radhiyallahu anhu, dia
berkata:
مَا أَكَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ وَلاَ فِيْ سُكُرُّجَةٍ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah makan di atas
meja makan dan tidak pula di atas sukurrujah [2].” [HR. Al-Bukhari no.
5415]
e. Hendaknya duduk dengan tawadhu’, yaitu duduk di atas kedua
lututnya atau duduk di atas punggung kedua kaki atau berposisi dengan
kaki kanan ditegakkan dan duduk di atas kaki kiri. Hal ini sebagaimana
posisi duduk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didasari
dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ آكُلُ كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ وَأَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ.
“Aku tidak pernah makan sambil bersandar, aku hanyalah seorang hamba,
aku makan sebagaimana layaknya seorang hamba dan aku pun duduk
sebagaimana layaknya seorang hamba.” [HR. Al-Bukhari no. 5399]
f. Hendaknya merasa ridha dengan makanan apa saja yang telah
terhidangkan dan tidak mencela-nya. Apabila berselera menyantapnya, jika
tidak suka meninggalkannya. Hal ini sebagaimana hadits dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu :
مَا عَابَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعاَماً قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَ إِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela
makanan, apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berselera,
(menyukai makanan yang telah dihidangkan) beliau memakannya, sedangkan
kalau tidak suka (tidak berselera), maka beliau meninggalkannya.”[3]
g. Hendaknya makan bersama-sama dengan orang lain, baik tamu,
keluarga, kerabat, anak-anak atau pembantu. Sebagaimana hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اِجْتَمِعُوْا عَلَى طَعاَمِكُمْ يُبَارِكْ لَكُمْ فِيْهِ.
“Berkumpullah kalian dalam menyantap makanan kalian (bersama-sama),
(karena) di dalam makan bersama itu akan memberikan berkah kepada
kalian.” [HR. Abu Dawud no. 3764, hasan. Lihat Silsilah al-Ahaadiits
ash-Shahiihah no. 664]
2. Adab Ketika Sedang Makan
a. Memulai makan dengan mengucapkan, ‘Bismillaah.’
Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالَى، فَإِذَا
نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللهِ فِيْ أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ
أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ.
“Apabila salah seorang di antara kalian hendak makan, maka
ucapkanlah: ‘Bismillaah’, dan jika ia lupa untuk mengucapkan bismillaah
di awal makan, maka hendaklah ia mengucapkan: ‘Bismillaah awwaalahu wa
aakhirahu’ (dengan menyebut Nama Allah di awal dan akhirnya).”[4]
b. Hendaknya mengakhiri makan dengan pujian kepada Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنَ أَكَلَ طَعَاماً وَقَالَ: اَلْحَمْدُ ِِللهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ
هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلاَ قُوَّةٍ، غُفِرَ
لَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa sesudah selesai makan berdo’a: ‘Alhamdulillaahilladzi
ath‘amani hadza wa razaqqaniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin
(Segala puji bagi Allah yang telah memberi makanan ini kepadaku dan yang
telah memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku),’ niscaya akan
diampuni dosanya yang telah lalu.”[5]
c. Hendaknya makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan.[6]
Menyedikitkan suapan, memperbanyak kunyahan, makan dengan apa yang
terdekat darinya dan tidak memulai makan dari bagian tengah piring,
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ.
“Wahai anak muda, sebutlah Nama Allah (bismillaah), makanlah dengan
tangan kananmu dan makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu.”[7]
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pula:
الْبَرَكَةُ تَنْزِلُ وَسَطَ الطَّعَامِ فَكُلُوْا مِنْ حَافَتَيْهِ وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ وَسَطِهِ.
“Keberkahan itu turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari
pinggir-piring dan janganlah memulai dari bagian tengahnya.”[8]
d.Hendaknya menjilati jari-jemarinya sebelum dicuci tangannya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَاماً فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا.
“Apabila salah seorang di antara kalian telah selesai makan, maka
janganlah ia mengusap tangannya hingga ia menjilatinya atau minta
dijilatkan (kepada isterinya, anaknya).”[9]
e. Apabila ada sesuatu dari makanan kita terjatuh, maka hendaknya
dibersihkan bagian yang kotornya kemudian memakannya. Berdasarkan
hadits:
إِذَا سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ فَلْيُمِطْ ماَ كَانَ بِهَا
مِنْ أَذَى ثُمَّ لِيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ.
“Apabila ada sesuap makanan dari salah seorang di antara kalian
terjatuh, maka hendaklah dia membersihkan bagiannya yang kotor, kemudian
memakannya dan jangan meninggalkannya untuk syaitan.”[10]
d. Hendaknya tidak meniup pada makanan yang masih panas dan tidak
memakannya hingga menjadi lebih dingin. Tidak boleh juga, untuk meniup
pada minuman yang masih panas, apabila hendak bernafas maka lakukanlah
di luar gelas sebanyak tiga kali sebagaimana hadits Anas bin Malik.
كَانَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّراَبِ ثَلاَثاً.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika minum, beliau bernafas (meneguknya) tiga kali (bernafas di luar gelas).”[11]
Begitu juga hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu:
نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِي الشُّرْبِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk meniup (dalam gelas) ketika minum.”[12]
Adapula hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu:
نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي اْلإِناَءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيْهِ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menghirup
udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.”[13]
e. Hendaknya menghindarkan diri dari kenyang yang melampaui batas.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ حَسْبُ ابْنِ آدَمَ
لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ
وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ.”
“Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari
perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat
menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka jika tidak mau,
maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga
minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya.”[14]
f. Hendaknya memulai makan dan minum dalam suatu jamuan makan dengan
mendahulukan (mempersilahkan mengambil makanan terlebih dahulu)
orang-orang yang lebih tua umurnya atau yang lebih memiliki derajat
keutamaan. Hal tersebut merupakan bagian dari adab yang terpuji. Apabila
tidak menerapkan adab tersebut, maka berarti mencerminkan sifat serakah
yang tercela.
g. Hendaknya tidak memandang kepada temannya ketika makan, dan tidak
terkesan mengawasinya karena itu akan membuatnya merasa malu dan
canggung. Namun sebaiknya menundukkan pandangan dari orang-orang yang
sedang makan di sekitarnya dan tidak melihat ke arah mereka karena hal
itu menyinggung perasaannya atau mengganggunya.
h. Hendaknya tidak melakukan sesuatu yang dalam pandangan manusia
dianggap menjijikkan, tidak pula membersihkan tangannya dalam piring,
dan tidak pula menundukkan kepalanya hingga dekat dengan piring ketika
sedang makan, mengunyah makanannya agar tidak jatuh dari mulutnya, juga
tidak boleh berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang kotor dan
menjijikkan karena hal itu dapat mengganggu teman (ketika sedang makan).
Sedangkan mengganggu seorang muslim adalah perbuatan yang haram.
i. Jika makan bersama orang-orang miskin, maka hendaknya mendahulukan
orang miskin tersebut. Jika makan bersama-sama teman-teman,
diperbolehkan untuk bercanda, senda gurau, berbagi kegembiraan, suka
cita dalam batas-batas yang diperbolehkan. Jika makan bersama orang yang
mempunyai kedudukan, maka hendaknya ia berlaku santun dan hormat kepada
mereka.
3. Adab Setelah Makan
a. Menghentikan makan dan minum sebelum sampai kenyang, hal ini
semata-mata meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
menghindarkan diri dari kekenyangan yang menyebabkan sakit perut yang
akut dan kerakusan dalam hal makan yang dapat menghilangkan kecerdasan.
b. Hendaknya menjilati tangannya kemudian mengusapnya atau mencuci tangannya. Dan mencuci tangan itu lebih utama dan lebih baik.
c. Memungut makanan yang jatuh ketika saat makan, sebagai bagian dari
kesungguhannya dalam menerapkan adab makan dan hal itu termasuk
cerminan rasa syukurnya atas limpahan nikmat yang ada.
d. Membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di sela-sela giginya, dan
berkumur untuk
membersihkan mulutnya, karena dengan mulutnya itulah ia
berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan berbicara dengan
teman-temannya.
e. Hendaknya memuji Allah Azza wa Jalla setelah selesai makan dan
minum. Dan apabila meminum susu, maka ucapkanlah do’a setelah
meminumnya, yaitu:
اَللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَزِدْنَا مِنْهُ.
“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada kami pada apa-apa yang telah
Engkau rizkikan kepada kami dan tambahkanlah (rizki) kepada kami
darinya.”[15]
Jika berbuka puasa di rumah seseorang, hendaklah dia berdo’a:-editor
اَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ.
“Telah berbuka di rumahmu orang-orang yang berpuasa, telah makan
makananmu orang-orang baik dan semoga para Malaikat bershalawat
(berdo’a) untukmu.”[16]
[Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin
‘Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian
Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir
Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H – Maret 2006M]
________
Footnote
[1]. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وَإِذَا َأرَادَ أَنْ يَأْكُلَ غَسَلَ يَدَيْهِ
“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur
sedangkan beliau dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’ terlebih
dahulu dan apabila hendak makan, maka beliau mencuci kedua tangannya
terlebih dahulu.” [HR. An-Nasa-i I/50, Ahmad VI/118-119. Lihat Silsilah
al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 390, shahih]
[2]. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam kitab Syamaa-il
Muhammadiyyah hal. 88 no. 127 memberikan pengertian tentang sukurrujah
yaitu piring kecil yang biasa dipakai untuk menempatkan makanan yang
sedikit seperti sayuran lalap, selada dan cuka. Ibnu Hajar dalam Fat-hul
Baari (IX/532) berkata: “Guru kami berkata dalam Syarah at-Tirmidzi,
“Sukurrujah itu tidak digunakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Sahabatnya karena kebiasaan mereka makan bersama-sama
dengan menggunakan shahfah yaitu piring besar untuk makan lima orang
atau lebih. Dan alasan yang lainnya adalah karena makan dengan
sukurrujah itu menjadikan mereka merasa tidak kenyang.”-penj.
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3563), Muslim (no. 2064) dan Abu Dawud (no. 3764).
[4]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3767), at-Tirmidzi (no.
1858), Ahmad (VI/143), ad-Darimi (no. 2026) dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul
Yaum wal Lailah (no. 281). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam
Irwaa-ul Ghaliil (no. 1965)
[5]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4023), at-Tirmidzi (no.
3458), Ibnu Majah (no. 3285), Ahmad (III/439) dan al-Hakim (I/507,
IV/192) serta Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 467).
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1984).
[6]. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْكُلُ بِثَلاَثِ أَصَابِعَ، فَِإذَا فَرَغَ لَعِقَهَا.
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa
makan dengan meng-gunakan tiga jari tangan (kanan) apabila sudah selesai
makan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjilatinya.” [HR. Muslim
no. 2032 (132), Abu Dawud no. 3848].-penj.
Tiga jari yang dimaksud adalah jari tengah, jari telunjuk dan ibu
jari, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani
dalam Fat-hul Baari IX/577.-penj.
[7]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5376), Muslim (no. 2022),
Ibnu Majah (no. 3267), ad-Darimi (II/100) dan Ahmad (IV/26).
[8]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2031 (129)), Abu Dawud (no.
3772) dan Ibnu Majah (no. 3269). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
rahimahullah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 379)
[9]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5456) dan Muslim (no. 2031 (129)).
[10]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2033 (135)), Abu Dawud (no.
3845) dan Ahmad (III/301). Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (no.
1404), karya Syaikh al-Albani.
[11]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5631), Muslim (no. 2028), at-Tirmidzi (no. 1884), Abu Dawud (no. 3727).
[12]. Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1887), hasan. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1977), karya Syaikh al-Albani.
[13]. Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1888), Abu Dawud (no.
3728), Ibnu Majah (no. 3429), (Ahmad I/220, 309). Lihat Irwaa-ul Ghaliil
(no. 1977) , karya Syaikh al-Albani.
[14]. Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/132), Ibnu Majah (no. 3349),
al-Hakim (IV/ 121). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1983), karya Syaikh
al-Albani rahimahullah.
[15]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3730), at-Tirmidzi (no.
3451) dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 286-287).
Dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Shahiih
Jami’ush Shaghiir (no. 381). Lafazh ini terdapat dalam kitab Ihyaa’
‘Uluumiddiin (II/6).
[16]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3854) dan Ibnu Majah (no.
1747). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih Abi Dawud (II/703).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar